Sebuah Cerita Tentang Teori Melambat Sejenak

Pernahkah kalian merasa sekeliling kita berlari dengan kecepatan 1000 km per jam!! Membuat kita harus bekerja keras, berlari mengikuti ritme dunia yang sangat tinggi. Hanya untuk kita bertahan supaya tidak tertinggal?

Bekerja lebih giat, pulang lebih malam..

Setidaknya itulah yang saya rasakan sejak kecil, baik dari keluarga, sekolah, dan orang-orang di sekeliling saya.

Kenyang rasanya terus dinasihati harus menjadi orang yang cepat, gesit, cekatan, rajin dan sebagainya supaya bisa menjadi orang. Dunia mengajarkan kita untuk terus berlari sprint.. Untuk seorang yang menyukai ketenangan, saya bagaikan kukang dinasehati untuk menjadi cheetah..

Bila diingat-ingat, saya banyak menyia – nyiakan waktu masa kecil saya. Pada masa liburan saya sering sekali bangun siang, bahkan sore!! Ga heran sih diceramahin terus.

Diingat lagi sekarang sayang rasanya banyak waktu yang terbuang. Tapi saya mendapati walau banyak melakukan kesalahan dan membuang waktu, itu tidak berarti membuat kita menjadi orang gagal.

Kita kerap menyesali waktu kita yang terbuang.. di waktu besok kita kembali mengulangi kesalahan yang sama dan kembali menyesali. Kemudian di minggu depan, bulan depan, tahun depan, terus dan terus..

Kita memberi terlalu banyak tekanan bahwa kita harus selalu sprint, selalu benar, padahal sebenarnya kita memiliki waktu yang lebih banyak dari yang kita kira.

Seperti halnya ketika kita yang terus memaksakan diri untuk terus berlari, fokus kita menjadi menyempit, kita terus berfokus hanya pada diri kita, melawan kelelahan yang hebat.

Dalam bukunya Haemin Sunim mengatakan, ketika kita terburu- buru, membuat segala sesuatunya harus serba cepat, membuat kita menjadi kacamata kuda. Malah menyebabkan kita melewatkan banyak hal indah dalam perjalanannya.

Beberapa hal baik yang hanya dapat dilihat ketika kita melambat..

Kita dapat berlari sprint bila kita tau trek kita hanya lurus di depan. Tapi apakah dalam hidup kita tau ke mana trek ke depan? ke kiri?? Kanan???

Memang betul ada orang yang berhasil dengan menjalankan trek yang telah dibuatkan oleh orang tuanya, tapi kesuksesan tidaklah dibangun dengan bermodalkan sprint sepanjang waktu. Dalam kehidupan jalan yang kita lalui akan berliku-liku, dan kerap menemui banyak jalan buntu.

Kita tidak mempunyai waze, yang kita punya hanya lah kompas..